Senin, 23 Januari 2017

Notulensi IR-FGD: Asal-usul Kedaulatan (Tinjauan Kritis atas Konsepsi Negara-Negara Modern)


Tema : "Asal-usul Kedaulatan: Tinjauan Kritis atas Konsepsi Negara-Negara Modern"
Tanggal : Ahad, 22 Januari 2017
Waktu. : 09:00-12:00

Pembicara : Prianggo Adam Kuncoro [ HI UNSOED 2013]
Moderator : Mohamad Fajar Haqi Ismaha [ HI UNSOED 2012 ]
Notulensi. : Gevrazy

*Materi Pengantar*

*Prianggo A. K.*

Dalam kesempatan ini, saya mengajukan tema kedaulatan kepada kawan kawan semua. Mengapa? Karena hal ini sejatinya akan merefleksikan kembali tentang pertanyaan mendasar dari adanya studi HI terutama dalam mata kuliah PIHI (pengantar ilmu HI) yakni "HI itu mempelajari tentang apa?". Mungkin akan banyak variasi jawaban jika merunut dari pendapat para ahli. 

Tp secara umum HI merujuk pada studi tentang hubungan antaraktor yang melintasi batas-batas negara (mohon koreksinya). Yaaa, kedudukan "negara" atau lebih tepatnya negara yang berdaulat (merdeka) yang sangat lekat dalam studi HI disinilah akan menjadi bahan pendiskusian bahkan perdebatan yang hendak saya ajukan dalam forum ini. Jika dalam sosiologi, negara dimaknai sebagai lembaga/sistem pengorganisasian sosial, adapun dalam ilmu politik negara juga dimaknai sebagai alat kekuasaan, lantas dlm disiplin HI bagaimana? Mungkin jawaban yg umum adalah yaa sbg aktor. Yaa aktor yg tidak bisa dipungkiri mempunyai peran yg sangat dominan. Meskipun peran aktor non-negara juga semakin mencuat seiring kompleksitas studi HI yg terus berkembang, tapi tetap saja aktor negara masih mempunyai porsi yang tidak bisa dibilang kecil. Mengapa bisa seperti itu?

Jika dilihat dari beberapa sampel penelitian mahasiswa HI ataupun sarjana sarjana HI, kajian tentang kebijakan luar negeri, diplomasi, strategi perdagangan bahkan strategi militer masih menjadi wacana dominan. Negara-sentris, ya begitulah paradigma utama yg masih dominan bahkan hegemonik dalam studi HI. Karena hal ini berpengaruh terhadap cara pandang kita terhadap aktor-aktor lain, misalnya teroris.Nuansa subjektivitas yg mengakar yang menyematkan teroris sebagai ancaman dunia, penebar kekerasan dsb. Tapi disatu sisi kadang penilaian kita cenderung berat sebelah justru ketika negara melakukan terror kepada warga negaranya atas nama menegakan kedaulatan, apakah stigma kita bisa konsisten menyikapi hal tersebut? Atau mungkin melihat fenomena migrasi internasional dimana persoalan perlindungan migran, penelantaran refugee dan diskriminasi yg kerap diterima oleh migran sbg manusia kelas dua bukankah itu tidak terlepas dari adanya ego kedaulatan?

Kita bisa lihat motif kedaulatan menjadi legitimasi pembenaran tindakan suatu negara suatu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan mempertahankan wilayahnya dari ancaman. Tapi jika benar seperti itu, lantas bagaimana kedudukan kedaulatan hari ini (Objektifnya) di bidang politik, tdk sedikit negara yg terpaksa tunduk kepada kekuatan aktor lain (negara maupun non-negara) yg lebih kuat, besar dan kaya. Pengakuan kedaulatan hanya sekedar ritual diplomatis yg diwariskan turun temurun. Di ranah ekonomi, banyak negara yg tidak berdaya menghadapi fluktuasi harga akibat deregulasi pasar, bahkan tak kuasa mengekang kehendak perusahaan perusahaan dalam negerinya saat didesak untuk mereorientasikan kebijakan yg lebih terbuka terhadap pasar bebas, ketimbang kearah kesejahteraan sosial. Bahkan dalam aspek perdagangan, perpindahan barang dan manusia antar negara dewasa ini kian massif dan semakin tak terlacak oleh aparat pemerintah. Contoh, penyelundupan barang-barang dan migrasi ilegal kian marak.

Sedikit menyinggung soal migrasi, dampak perpindahan manusia lintas negara tak jarang berpengaruh terhadap identitas nasional suatu bangsa. Tak jarang perpindahan manusia berikut budayanya dianggap sebagai malapetaka bagi tatanan sosio-kultural yg telah mapan disuatu negara.
Hal diatas adalah beberapa beberapa fenomena yg kerap kita saksikan melihat teater global dengan negara-negara berdaulat sebagai wayangnya. Mungkin kawan-kawan masih ingat dengan perjanjian westphalia? Perjanjian dami perang 30 tahun di eropa itu konon menjadi cikal bakal lahirnya konsep kedaulatan negara-negara modern disini. Kedaulatan yg menekankan pada pentingnya batas negara dan pemisahan administratif kebijakan politik baik luar maupun dalam.

Padahal sebelum muncul perjanjian tersebut, telah banyak konsep kedaulatan yg berkembang. Kedaulatan versi khalifah misal, dia suatu wilayah yg masyarakatnya mengukuhkan dirinya berpegang teguh pada dua kalimat syahadat, artinya dia berada dalam kekuasaan yg sama, yakni kepemimpinan khilafah. Atau era majapahitnya gajah mada, dimana sejauh mana dia berlayar dan berhasil mengukuhkan prasasti maka disitulah teritorinya
Begitulah transformasi kedaulatan jika dirunut secara historis dan perkembangan dinamikanya dari tiap tiap kawasan. Lantas yg menjadi pertanyaan selanjutnya, dari keseluruhan penerapan praktek kedaulatan di suatu negara, adakah yg berhasil menggapai cita citanya, Yakni melindungi dan memenuhi kebutuhan masyarakatnya?
Dan apakah upaya-upaya tindakan negara yg mengatasnamakan kedaulatan negara benar benar berangkat dari aspirasi masyarakatnya?

Paradoxal logika kedaulatan paling menonjol bisa kita lihat bagaimana kebijkan AS di era Nixon yang mendeklarasikan perang vietnam yg ternyata tidak disambut antusias oleh warga negaranya, salah satunya mohammad ali yg menolak kebijakan wajib militer. Atau paling terdekat, Indonesia ! Keikutsertaan indonesia dalam forum APEC dan MEA hingga operasi militer di papua dan aceh, jangankan bertanya apakah hal tersebut berangkat dari aspirasi warga negara indonesia, pertanyaan "apakah itu memang benar benar berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan jaminan keamanan masyarakat indonesia?" Juga tentunya akan menuai perdebatan yang sengit. Tapi ada fenomena menarik di belahan bumi timur tengah kawan-kawan. Ada yang pernah dengar rojava? Dimana daerah otonomi dideklarasikan oleh bangsa kurdi yg merupakan buah perjuangan bangsa mereka atas diskriminasi, marjinalisasi dan subordinasi yg mereka terima di turki, irak, iran dan suriah akibat dekolonisasi memaksa mereka melakukan perjuangan revolusioner. 

Mereka hendak mengusung suatu sistem demokrasi tapi tanpa negara. Dan itu bukan sekedar angan angan / teori, tapi sedang dipraktekan. Bahkan ditengah ketidakberdayaan negara negara arab menghadapi 
pasukan isis, para pejuang rojava berhasil membuat pasukan isis tunggang langkang dan mereka (rojava-red) berhasil menduduki kawasan yg sebelumnya dikuasai oleh isis. Adapun maksud demokrasi tanpa negara yg hendak mereka usung yakni,,demokrasi akar rumput, yang berkarakter ekologis, kesetaraan gender dan anti sentimen SARA. Bahkan dengan perjuangan seperti mereka merasa lebih berdaulat (merdeka) dibandingkan masyarakat yg masih menganut sistem negara.

Bahkan ditengah ketidakberdayaan negara negara arab menghadapi pasukan isis, para pejuang rojava berhasil membuat pasukan isis tunggang langkang dan mereka (rojava-red) berhasil menduduki kawasan yg sebelumnya dikuasai oleh isis. Adapun maksud demokrasi tanpa negara yg hendak mereka usung yakni,,demokrasi akar rumput, yang berkarakter ekologis, kesetaraan gender dan anti sentimen SARA. Bahkan dengan perjuangan seperti mereka merasa lebih berdaulat (merdeka) dibandingkan masyarakat yg masih menganut sistem negara.
Bagi mereka kedaulatan itu didapat ketika nasib mereka ditentukan oleh mereka sendiri bukan menggantungkan pada orang lain.

Tp, perlu menjadi catatan, suatu kondisi tiap kawasan pasti berbeda beda dinamikanya. Keberhasilan suatu negara/masyarakat dalam membangun atau menghadirkan kedaulatan tidak bisa asal copy paste. Tapi pembelajaran atas pengalaman masyarakat/negara di suatu kawasan tentunya sangat penting untuk diambil. Karena suatu konsep hanya akan usang ketika tidak bisa dipraktekan dan perlu diupgrade jika sudah lapuk oleh zaman.

________________________________
*SESI DISKUSI, TANYA - JAWAB*
________________________________

*Pertanyaan 1: 

Soal rojava yang merasa lebih berdaulat daripada kita yang masih dinaungi negara. Kalau menurut hemat saya kita gak pernah bisa benar benar berdaulat atau gak ada kedaulatan absolut, di level negara mungkin kedaulatannya memang parsial tapi at least ada kedaulatan. kalau kedaulatan yang diyakini rojava kayaknya harus belajar dari runtuhnya paham liberalisme laizzes faire et laizzes passer. Ketika pasar dibiarkan mengatur semuanya sendiri pada akhirnya hancur karena ga ada aturan, makin anarkis dong karena ga ada regulasi yang melindungi kedaulatan seseorang artinya jangankan mau dapat kedaulatan absolut dapat kedaulatan secara parsial aja bakal susah.

*Tanggapan : Prianggo A. K.*

Memang ada yang bilang kalo rojava itu anarkis. Tapi jika didasarkan pada keterangan pemimpinnya, Abdullah Ocalan sistem yg mereka anut yakni konfederalisme demokrasi. Di level ekonomi, mereka lebih menggunakan model koperasi untuk menjaga terpenuhinya kebtuhan merka. Sekarang mereka sudah bisa bangun lembaga penddikan sendiri. Beberapa ilmuan sosial eropa mulai tertarik berkunjung ke kawasan tersebut karena uniknya, dan konsep masyarakat yg asing didengar di ruang ruang kelas kuliah hari ini. Terkait kedaulatan absolut, yaa memang tidak ada yang absolut, karena semuanya berkembang secara dialektis. Pengalaman masa lalu, keterbatasan hari ini akan jadi dorongan buat praktek di masa depan.

Another world is possible, berdasarkan keterbatasan sayaa, menurut saya untuk menciptakan kondisi yg berdaulat (baik individu, masyakat maupun negara) saya kira caranya ya sejauh mana kita memperjuangkan bukan menunggu kebaikan hati suatu aktor. Rada sepakat ama pakde abdullah ocalan hehe. Oh iyaa ada dalam ilmu sosial namanya kontrak sosial. Kontrak sosial disini untuk mengantisipasi kecenderungan anarkisme dalam sistem masyarakat.

*Pertanyaan 2:


1) Kita hidup di wilayah yg katanya mmpunyai kedaulatan trtinggi yg d pegang oleh rakyat. Nah, di sisi lain dlm suatu kedaulatan itu ada bbrp region di dalamnya yg mngnut kesultanan. Yg mau saya prbncangkn dsini, mnurut pndpt kkk apkh akan ada celah unsur monopoli bhkn monopolistik dlm kebijakan yg pemerintah prsilahkn dg trbuka lebar? Kalau iya dan ada bgaimana?

2) Bila iya itu trjdi, bahkan prmslhannya ada yg merugikn rakyat, tdk brsatu bhkn tdk mnguntungkan rakyat, pdhl rakyt dsini sbg pmgang suatu kedaulatan trtinggi. Apabila ada suatu permasalahan dr peraturan2 daerah dsb, ttg kesepkatan baru sprt MoU dsb dan itu dgunakan untuk kpntingan pihak2 trtntu. Dan mngkin saja rakyat tdk mngetahui adanya hal itu dan yg ini adalah sgt tdk brpihak trhdp rakyat untuk mlyani dll. Apakah kmudian pihak atas/kpmrintahan seenknya bgtu saja, dan atau apkh ada titik kebijaksanaannya setelah rakyat hampir dijadikan boneka monopoli olehnya? pndpt kkk bgaimana?

*Tanggapan : Prianggo A. K.*

Aku sih nangkepnya disini sejauh mana rakyat berkuasa ? Atau sejauh mana keterlibatan rakyat dalam penentuan suatu kebijakan?
Paling aku bakalan menyoroti dititik rawannya praktek monopoli kekuasan, Itu sebenarnya bisa dibedah dalam kerangka analisis ekonomi politik. Dalam dinamika masyarakat yang heterogen baik secara vertikal maupun horizonal pasti tidak akan terlepas dari relasi kuasa, ketika terjadi monopoli,,artinya ada kondisi kubu mayoritas yg inferior dan minoritas yg superior.
Jika memandang negara sebagai alat kekuasaan, artinya negara tersebut dikuasai oleh sang minoritas terhadap mayoritas
Minor dan mayor disini bukan bertendensi SARA loh yaa mksdnya, tp jika dilihat dari analisis ekopol bisa diperhatikan dari bagimana sang minor mensejahterakan dirinya dan keluarganya dan bagaimana upaya mempertahankannya.

*Pertanyaan 3 : 

Nah kontrak sosial, kenapa ada sistem negara awalnya karena ada kontrak sosial juga kan? Atau jangan-jangan apa yg dilakukan bangsa kursi itu semacam circular flow? Fenomena sosial kan sering terulang!

*Tanggapan : Prianggo A. K.*

Negara kan salah satu produk kontrak sosial, misal produk yg mau diusung yakni "masyarakat madani" yaa bisa bisa ajasih. Tentunya akan disesuaikan dengan kondisi zaman.
Tidak ada yg mustahil dalam melihat perubahan, termasuk sistem negara. Yang mustahil justru memandang sistem negara tidak akan berubah (stagnan).

*[[ CLOSING STATEMENT ]]*

Perdebatan tentang kedaulatan negara semakin kompleks. Kondisi idea dan realita yg terlihat kontradiktif menjadi pemicunya. Akan tetapi jika melihat kedaulatan adalah suatu kebutuhan bagi kita, maka jalan yang ditempuh ada dua, yakni dengan memperjuangkan atau menunggu dikasihani. Memang kita tidak bisa asal mencaplok konsep keberhasilan ditempat lain karena kondisinya pasti berbeda beda tiap wilayah. Tetapi bukan berarti tidak ada pembelajaran yg bisa dipetik dr keberhasilan di wilayah lain meskipun kendala dan kelemahan akan tetap mengiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar