Kamis, 19 Januari 2017

Stereotype “Tukang”

Tukang. Bagi sebagian orang, mendengar kata „tukang“ kadang dianggap sebelah mata. Percaya atau tidak memang seperti itu adanya. Dengan semakin maraknya joke, meme, sitkom atau bahkan dalam kehidupan kita sehari-hari, istilah “tukang“ menjadi sasaran bagi suatu pekerjaan yang kurang dihargai keberadaannya. Saya kira, mereka yang sering melontarkan joke mengenai “tukang” ini belum tau betapa berharga dan berartinya mereka. Coba kita lihat, tanpa „tukang sampah“ pekarangan rumah kita atau bahkan seisi lingkungan di dunia ini akan menjadi pemandangan yang tidak sedap dan penuh dengan sampah. Tanpa „tukang ojek“ dan „tukang becak“, kita akan kerepotan membawa barang-barang belanjaan kita dari pasar atau untuk sekadar menjangkau jarak perjalanan yang dirasa jauh oleh kedua kaki kita.

Bagi sebagian ibu rumah tangga yang menggunakan waktu luangnya untuk „mengobrol“ dengan ibu-ibu lainnya, obrolan orang lain biasanya menjadi sasaran empuk bagi mereka. „Bu, tau nggak? Bapak X ini kerjanya jadi tukang es cendol?“. „Wah, itu tetangga baru saya kan tukang nasi goreng. Mangkalnya di Jalan Z“. Atau dengan joke lain yang sering dilontarkan para komedian di televisi, “dasar lo, muke kayak tukang bala-bala aja bangga“, „aduh lo ye, suka ga ngaca. Mantan tukang rujak bebek aja gayanya selangit“, „eh lo ngapain bawa tas kaya tukang kredit gituan? Ga keren!!“, dan masih banyak lain. Saya rasa, kita tidak pernah damai dengan istilah „tukang“ padahal tanpa mereka kita tidak bisa membeli barang atau mendapatkan jasa yang kita butuhkan.

Pernahkah kita berada di posisi „tukang“ ketika ujaran bernada menghina itu terlontar? Saya benar-benar tidak tau apa yang mereka rasakan ketika sindiran-sindiran yang awalnya bertujuan untuk menghibur orang lain, menjadi sebuah penghinaan. Dalam tulisan saya ini, saya mengajak kepada kalian semua untuk tidak membully, menghina, atau memandang sebelah mata pekerjaan seorang „tukang“ apalagi secara verbal, karena apa yang diproduksi oleh perkataan kita akan mendapatkan respon yang variatif dari pendengarnya. Mulutmu harimaumu. Sadarkah kita, bahkan banyak penderita penyakit mental karena menerima ujaran-ujaran kebencian (hate speech), penghinaan, dan yang senadanya? Kita tidak pernah tau isi hati orang. Apapun pekerjaan selama dilakukan penuh kejujuran, tetap akan menjadi ibadah sekalipun menjadi „tukang“. Kuncinya adalah NO JUDGEMENTAL!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar